BOLEHKAH MENIKAH TANPA WALI?

PERTANYAAN:

Ada kawan saya (perempuan) yang telah menikah dengan seorang laki-laki, tetapi pernikahan tersebut tidak diketahui oleh orangtua mereka. Yang menjadi wali bagi wanita tersebut bukan wali dari KUA tapi bapak kostnya dan dua orang saksi. Bagaimanakah hukum pernikahan keduanya? Apa yang harus dia lakukan?  (Yati-Yogyakarta)

 

JAWAB :

 

Adanya wali, dua orang saksi dan terjadinya ijab kabul adalah syarat sahnya menikah. Alasan mengapa wanita tersebut menikah tanpa wali yang diajukan oleh penanya memang belum jelas. Namun persoalan tersebut akan coba kami jelaskan sebagai berikut.

Dalam kasus diatas yang menjadi fokus pembahasan adalah pada ketidaktahuan wali akan pernikahan keduanya. Terutama wali wanita. Sehingga pembahasan kami pada persoalan ini adalah pembahasan tentang siapa yang berhak dan sah menjadi wali bagi wanita dalam pernikahan.

Syaikh an Nabhani menyebutkan dalam kitab beliau An Nizhom al Ijtima’iy fi al Islam: “nikah tidak dipandang absah menurut syariat melainkan disertai dengan wali, karena seorang wanita itu tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, dan tidak dapat pula mengawinkan orang lain. Selain ia pun tidka dapat menjadi wakil, karena walinyalah yang menjadi wakil dalam pernikahannya. Jika ia melakukan hal ersebut maka pernikahannya tidak sah”. (an Nabhani, Nizhom al Ijtima’iy fi al Islam, hal 167)

Rasulullah saw bersabda: “Tidak sah nikah tanpa wali” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari Aisyah r.a beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam hadits lain masih dari Aisyah r.a: Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa mendapat izin dari walinya, maka pernikahannya adalah batil; pernikahannya adalah batil; pernikahannya adalah batil.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari hadits-hadits diatas dapat dengan jelas kita pahami bahwa tidak sah pernikahan wanita tanpa ada wali yang menikahkannya. Dalam hal ini bukan berarti bahwa pernikahan anak perempuan ditentukan oleh walinya. Karena ada larangan bagi wali yang menghalangi anak perempuannya menikah (lihat Qur’an surah al Baqarah 232). Seorang wali tidak boleh menerima pinangan siapapun tanpa persetujuan dari anak prempuannya. Rasulullah saw bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya” (HR. Al Jama’ah kecuali al bukhari, lihat Nayl al Awthar, al Syawkani VI: 233).

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).” [Al-Umm (VI/35)].

 

Wali bagi wanita.

Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf  (berbeda pendapat) tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [Fat-hul Baari (IX/187)]

 

Bagaimana jika wali tidak mau menikahkan?

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan wali tersebut syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak dapat berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 90-91).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada wali hakim. Sehingga perempuan tersebut sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batal. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.”  (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol.  Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya padahal perempuan itu telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116). Firman Allah SWT :

 

“…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (TQS Al-Baqarah : 232)

 

Kebolehan wali hakim

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi alasan yang tidak syar’i, maka hak kewaliannya dapat berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).

Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan di sini dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang adil). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,  adalah tetap sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan.

Untuk mendapatkan wali hakim, maka bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan tinggal. Hal ini karena di Indonesia sejak 14 Januari 1952 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952, wali hakim dijalankan oleh Kepala KUA Kecamatan, yang dilaksanakan oleh para Naib yang menjalankan pekerjaan pencatatan nikah dalam wilayah masing-masing. Peraturan ini berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura, diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1952 dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1952 (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 91).

Kesimpulan dari pembahasan ini dan jawaban bagi pertanyaan diatas adalah,

  1. Seorang wanita tidak sah pernikahannya tanpa adanya wali yang menikahkannya.
  2. Wali bagi perempuan adalah kerabat terdekatnya sebagaimanan telah dijelaskan di atas.
  3. Jika semua nya tidak ada karena meninggal atau telah fasiq atau kafir maka hak perwalian nikah adalah kepada wali hakim.
  4. Selain wali yang disebutkan diatas maka tidak ada lagi wali bagi wanita. Jika ia tetap menikah maka pernikahannya batil, tidak sah.  Persoalan teman saudari itu disamakan dengan menikah tanpa wali ini, karena orangtua wanitanya tidak terkategori fasiq atau kafir serta wali hakim masih ada, sehingga menikahnya mereka atas wali bapak kosnya tidak sah. Pernikahan tersebut harus diulang dengan dinikahkan oleh walinya. Demikianlah pemahaman kami dalam persoalan ini. Wallahu’alam. [ ]

 

Yogyakarta, 8 Desember 2007

 

Fauzan al Banjari